Kasus Enron
Enron adalah perusahaan yang
sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri
energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang
begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil
menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau
dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup
menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai
energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi
dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut
“spark spread“.
Pada beberapa tahun yang lalu
beberapa perusahaan seperti Enron dan Worldcom yang dinyatakan bangkrut oleh
pengadilan dan Enron perusahaan energi terbesar di AS yang jatuh bangkrut itu
meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar, karena salah strategi dan
memanipulasi akuntansi yang melibatkan profesi Akuntan Publik yaitu Kantor
Akuntan Publik Arthur Andersen. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan
public yang disebut sebagai “The big
five” yaitu (pricewaterhouse coopers,
deloitte & touché, KPMC, Ernest & Young dan Anderson) yang
melakukan Audit terhadap laporan keuangan Enron Corp. Laporan keuangan maupun
akunting perusahaan yang diaudit oleh perusahaan akunting ternama di dunia,
Arthur Andersen, ternyata penuh dengan kecurangan (fraudulent) dan penyamaran data serta syarat dengan pelanggaran
etika profesi.
Akibat gagalnya Akuntan Publik
Arthur Andersen menemukan kecurangan yang dilakukan oleh Enron maka memberikan
reaksi keras dari masyarakat (investor) sehingga berpengaruh terhadap harga
saham Enron di pasar modal. Kasus Enron ini menyebabkan indeks pasar modal
Amerika jatuh sampai 25 %.
Perusahaan akuntan yang mengaudit
laporan keuangan Enron, Arthur andersen, tidak berhasil melaporkan penyimpangan
yang terjadi dalam tubuh Enron. Di samping sebagai eksternal auditor, Arthur
andersen juga bertugas sebagai konsultan manajemen Enron. Besarnya jumlah
consulting fees yang diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia
kompromi terhadap temuan auditnya dengan klien mereka.
KAP Arthur Andersen memiliki
kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit
formal. Selain itu, jika Arthur Andersen sedang memenuhi panggilan pengadilan
berkaitan dengan perjanjian audit tertentu, tidak boleh ada dokumen yang
dimusnahkan. Namun Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus
Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan.
Walaupun penghancuran dokumen
tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap
melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Akibatnya,
banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup.
Penyebab kecurangan tersebut diantaranya dilatarbelakangi oleh sikap tidak
etis, tidak jujur, karakter moral yang rendah, dominasi kepercayaan, dan
lemahnya pengendalian.
Faktor tersebut adalah merupakan
perilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan good corporate governance
philosofy yang membahayakan terhadap business going cocern. Begitu pula praktik
bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif
bagi banyak pihak.Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor
Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana
pensiunnya dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact).
Milyaran dolar kekayaan investor
terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa
efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai
kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu
fairrness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam
mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron
telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis
yang sehat.
Pada tanggal 25 Juni 2002, datang
berita yang mengejutkan bahwa perusahaan raksasa, WorldCom juga mengalami
masalah keuangan. Kemajuan dari kagagalan membuat dua pembuat undang-undang AS,
Michael Oxley dan Paul Sarbanes, menggabungkan usaha mereka dan mengemukakan
perundang-undangan perubahan tata kelola yang lebih dikenal sebagai
Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX 2002).
Skandal keuangan yang terjadi
dalam Enron dan Worldcom yang melibatkan KAP yang termasuk dalam “the big five”
mendapatkan respon dari Kongres Amerika Serikat, salah satunya dengan
diterbitkannya undang-undang (Sarbanex-Oxley Act) yang diprakarsai oleh senator
Paul Sarbanes (Maryland) dan wakil rakyat Michael Oxley (Ohio) yang telah
ditandatangani oleh presiden George W. Bush.
Untuk menjamin independensi
auditor, maka KAP dilarang memberikan jasa non-audit kepada perusahaan yang
di-audit. Berikut ini adalah sejumlah jasa non-audit yang dilarang:
•
Pembukuan dan jasa lain yang berkaitan.
•
Desain dan implementasi sistem informasi keuangan.
•
Jasa appraisal dan valuation
•
Opini fairness
•
Fungsi-fungsi berkaitan dengan jasa manajemen
•
Broker, dealer, dan penasihat investasi
Salah satu hal yang ditekankan
pasca Skandal Enron atau pasca Sarbanes Oxley Act ini adalah perlunya Etika
Professi. Selama ini bukan berarti etika professi tidak penting bahkan sejak
awal professi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik
Professinya baik di USA maupun di Indonesia.
Etika adalah aturan tentang baik
dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan
tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota
professi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan
pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk
menegakkan praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup
kuat menghadapi sifat sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang
dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan manajemen yang bermoral rendah yang
hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis pribadinya.
Walaupun semakin banyak aturan
yang dikeluarkan oleh Standard Setting Body sepertiFASB (Financial Accounting
Standard Board) atau Regulator pemerintah seperti SEC (Security Exhange Commission)
namun kecurangan selalu dapat ditutupi dan dicari celah sehingga sampai pada
puncaknya dimana kecurangan itu terungkap dan menyebabkan kerugian semua pihak
terutama investor dan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada
professi akuntan dan sistem pasar modal.
Dari kisah ini dapat kita tarik
pelajaran bahwa memang dalam system sekuler dimana moral dinomor duakan maka
akan besar peluang munculnya godaan yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain. Di Amerika dengan keluarnya UU Sarbanes Oxley (SOA) itu ternyata dapat
mengerem semakin terpuruknya kepercayaan publik terhadap profesi akuntan.
Di Indonesia, suap merupakan
budaya yang telah turun temurun, namun kondisi terparah dialami sejak zaman
orde baru. Dengan dibukanya peluang investasi bagi pemodal asing dan dalam
negeri, menyebabkan suburnya lahan suap dan korupsi mulai dari pemberian ijin, pemberian proteksi berupa
pembebasan bea masuk, penetapan saat mualai berproduksi komersial, pemberian
tax holiday, penetapan pajak, bahkan saat audit suatu perusahaan oleh seorang
auditor.
Dengan adanya penyimpangan yang
dilakukan baik oleh individu maupun oleh organisasi menuntut perlunya
ditingkatkan penerapan etika dalam bermasyarakat. Praktek dan budaya kerja
organisasi juga mempunyai kontribusi terhadap perilaku etika. Jika pimpinan
utama suatu organisasi bersikap etis dan pelanggaran etika diatasi secara
langsung dan benar, maka setiap orang dalam organisasi akan memahami bahwa
organisasi mengharapkan mereka untuk bersikap etis, membuat keputusan yang etis
dan melakukan hal yang benar.
Kasus ICW Minta Sembilan Kantor Akuntan
Publik Diusut
Indonesia Corruption Watch (ICW)
meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang
berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga
telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara
tahun 1995-1997.
Koordinator ICW Teten Masduki
kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP,
sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank
bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata
tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang
diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya
oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R,
HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan
RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika
profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang
diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas
suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan
laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya
tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP
itu bukan sekadar “human error” atau
kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi
kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi
dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen
Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP
telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif
untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak
ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit
sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka
memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini
merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus
meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode
etik profesi akuntan.
Kasus
pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan
pun memberi sanksi pembekuan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri
Mulyani Indrawati membekukan izin Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata
dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun,
terhitung sejak 15 Maret 2007. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen
Keuangan Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa
(27/3), menjelaskan sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut
melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Pelanggaran itu berkaitan dengan
pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31
Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah
melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan
audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan
Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004.
Selama izinnya dibekukan, Petrus dilarang
memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit
khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin
cabang KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah
diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional
Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan
Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003.
Pembekuan izin yang dilakukan
oleh Menkeu ini merupakan yang kesekian kalinya. Pada 4 Januari 2007, Menkeu
membekukan izin Akuntan Publik (AP) Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik
Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18 bulan. Djoko dinilai Menkeu
telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dengan hanya
melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Myoh Technology Tbk (MYOH).
Penugasan ini dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga
2005.
Kasus PT. Great River International, Tbk
Sebelumnya, di bulan November
tahun lalu, Depkeu juga melakukan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik
Justinus Aditya Sidharta. Dalam kasus ini, Justinus terbukti telah melakukan
pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan
Konsolidasi PT Great River International Tbk (Great River) tahun 2003.
Kasus Great River sendiri mencuat
ke publik seiring terjadinya gagal bayar obligasi yang diterbitkan perusahaan
produsen pakaian tersebut. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) mengindikasikan terjadi praktik overstatement (pernyataan
berlebihan) penyusunan laporan keuangan yang melibatkan auditor independen,
yakni akuntan publik Justinus Aditya Sidharta.
Cukup satu saksi
ahli
Terhadap kasus Great River, saat
ini Bapepam-LK sedang meminta penilaian independen dari saksi ahli untuk
menuntaskan pemeriksaan kasus overstatement laporan keuangan emiten berkode
saham GRIV itu. Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Wahyu Hidayat
mengatakan akuntan publik akan dipanggil untuk memberikan penilaian terhadap
kasus laporan keuangan Great River. “Penyidikan Great River masih pada tahap
penyempurnaan, kami menyiapkan saksi ahli dari akuntan publik,” tuturnya kepada
pers, pekan lalu.
Pemanggilan saksi ahli oleh
penyidik Bapepam-LK ini dibenarkan oleh UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Alasannya, dalam Pasal 101 ayat 3 h UU Pasar Modal disebutkan, penyidik
Bapepam-LK berwenang meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal.
Pasca pengambilan keterangan
akuntan publik, otoritas pasar modal segera menyusun berkas pemeriksaan
overstatement laporan keuangan Great River yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan.
Berkas itu, kata Wahyu, akan dibuat terpisah dari berkas pemeriksaan direksi.
Ditambahkan oleh Wahyu saksi ahli
kasus Great River bisa diambil dari anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
asalkan independen. Dalam waktu dekat ini, akuntan yang akan ditetapkan sebagai
saksi ahli segera diumumkan oleh otoritas pasar modal itu. “Satu saksi ahli
cukup. Bisa dari IAI atau siapapun, yang pasti independen. Kalau sudah cukup
dengan saksi ahli itu, langsung kami berkas,” sambungnya.
Kasus
Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat
Seorang akuntan publik yang
membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman
modal senilai Rp 52 miliar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat
kasus korupsi dalam kredit macet.
Hal ini terungkap setelah pihak
Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit macet untuk
pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.
Fitri Susanti, kuasa hukum
tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010)
mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan
para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai
akuntan publik dalam kasus ini.
Hasil pemeriksaan dan konfrontir
keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam
laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI.
Ada empat kegiatan data laporan
keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga
terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya.
“Ada
empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang tidak masuk dalam
laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi temuan dan kejanggalan
pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet tersebut,” tegas Fitri.
Keterangan dan fakta tersebut
terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir
keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus
tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya data laporan keuangan
Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam laporan
keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor ada
data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh akuntan publik.
Tersangka Effendi Syam melalui
kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan
pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa saja yang
juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap
kasus korupsinya.
Sementara itu pihak penyidik
Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum mau memberikan komentar banyak atas
temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam dengan saksi Biasa
Sitepu sebagai akuntan publik tersebut.
Kasus kredit macet yang menjadi
perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah kejaksaan mendapatkan
laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein Muhamad
sebagai pimpinan Raden Motor.
Dalam kasus ini pihak Kejati
Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari
BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.
Akuntan publik (Biasa Sitepu)
diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi dalam kredit macet untuk pengembangan
usaha Perusahaan Raden Motor. Keterlibatan itu karena Biasa Sitepu tidak
membuat empat kegiatan data laporan keuangan milik Raden Motor yang seharusnya
ada dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI sebagai pihak pemberi pinjaman.
Empat kegiatan data laporan keuangan tersebut tidak disebutkan apa saja akan
tetapi hal itu telah membuat adanya kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan
tersebut. Sehingga dalam hal ini terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan
ditemukan dugaan korupsi.